Jumat, 09 September 2011

Aspek PPN atas Transaksi Inbreng

Berbicara mengenai PPN/PPn BM. maka transaksi inbreng pun dapat menjadi salah satu objek yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN/PPn BM. Apakah harta yang di-inbreng-kan tersebut merupakan barang dagangan ( inventory) atau bukan, maka PPN/PPh BM pada dasarnya tetap dapat dikenakan atas transaksi inbreng tersebut. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagaimana diketahui, kata " Penyerahan Barang Kena Pajak" yang dimaksud dalam UU PPN tidaklah melulu berupa transaksi penjualan.
Melihat pada ketentuan yang ada dalam pasal 1A UU PPN, pada dasarnya yang tidak termasuk dalam pengertian kata " penyerahan barang kena pajak"  adalah (a) Penyerahan Baranng Kena Pajak (BKP) kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam UU Hukum Dagang; (b) Penyerahan BKP untuk jaminan hutang piutang; dan (c) Penyerahan BKP dari kantor pusat ke cabang dalam hal pengusaha telah mendapatkan izin pemusatan (sentralisasi). Dengan melihat ketiga kelompok penyerahan tersebut, dapat dipastikan bahwa penyerahan harta dalam rangka inbreng termasuk sebagai penyerahan BKP. Bahkan jika ingin lebih sepesifik lagi seperti yang ditegaskan dalam pasal 1A ayat (1) UU PPN, maka salah satu yang termasuk dalam pengertian kata " Penyerahan Barang Kena Pajak" adalah penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian.
Dengan demikian, jika harta yang di-inbreng tersebut adalah barang dagangan, maka pengenaan PPN/PPn BM-nya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a UU PPN/PPn BM. Sesuai dengan memori penjelasannya, penyerahan inbreng tersebut dapat tertuang PPN/PPn BM apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
  • Harta yangdi-inbreng merupakan BKP. Secara umum sebenarnya UU PPN menganggap bahwa semua barang adalah BKP, kecuali kelompok barang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 4A UU PPN dan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000;
  • Penyerahan (inbreng) harta dilakukan dalam Daerah Pabean, yaitu wilayah negara Republik Indonesia; dan
  • Pengusaha yang menyerahkan harta inbreng telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau seharusnya telah dikukuhkan menjadi PKP. Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP adalah pengusaha yang jumlah peredaran bruto  atau  omzet-nya dalam satu tahun buku telah melebihi Rp600.000.000,00.
Ketiga syarat di atas bersifat komulatif, maksudnya jika salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka atas penyerahan harta dalam rangka inbreng  tidak terutang PPN.
Kemudian jika harta yang diserahkan bukan barang dagangan, melainkan harta (aktiva tetap perusahaan), maka PPN tetap dapat dikenakan berdasarkan ketentuan Pasal 16D UU PPN. Pengenaan PPN menurut ketentuan ini hanya dapat terjadi apabila memenuhi syarat komulatif berikut ini;
  1. Pengusaha yang menyerahkan harta inbreng sudah dikukuhkan menjadi PKP.
  2. Saat perolehan harta yang di-inbreng tersebut, pengusaha yang bersangkutan telah dikenai PPN.
  3. PPN yang dibayar pada saat perolehan harta tersebut menurut ketentuan perpajakan  dapat dikreditkan. Jika PPN tersebut tidakdapat dikreditkan, maka saat inbreng tidak terutang PPN Pasal 16D. Tetapi jika tidak dapat dikreditkannya PPN tersebut hanya karena Faktur Pajak-nya cacat, maka saat inbreng dapat terutang PPN Pasal 16D sepanjang kedua syarat a dan b terpenuhi. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan